Belum lama ini, pemerintah mengajukan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) kepada DPR. Di mana, salah satu poin RUU itu adalah memajaki produk sembako dan jasa pendidikan dengan pajak pertambahan nilai (PPN).
Kendati kontroversial dan wacananya mulai redup ditilap isu-isu besar lain, tampaknya rancangan PPN sembako dan pendidikan akan diperjuangkan habis-habisan oleh pemerintah. Pasalnya, PPN sembako dan pendidikan dicanangkan sebagai bagian dari program pemulihan ekonomi jika nantinya pandemi Covid-19 mereda. Pertanyaannya, mengapa harus PPN?
Ekonom, Arnold C. Harberger, memuji PPN sebagai pajak yang robust dan bagus. Dalam Principles of Taxation Applied to Developing Countries: What Have We Learned? (1990), Harberger menulis, “Dalam setengah abad terakhir, tidak ada perkembangan dalam bidang keuangan publik yang mampu menandingi kemunculan dan penyebaran PPN”.
Pajak yang serupa dengan PPN pertama kali diterapkan di Prancis pada awal tahun 1950-an. Pada dekade berikutnya, penerapan PPN menyebar ke berbagai negara di seluruh penjuru dunia, baik negara maju maupun berkembang, tak terkecuali Indonesia.
Di Indonesia, PPN pertama kali diterapkan pada tahun 1984, menggantikan pajak penjualan yang pelaksanaannya rumit dan jelimet. Radius Prawiro, menteri keuangan yang mengusulkan rancangan PPN ke DPR kala itu, menobatkan PPN sebagai "mesin uang". Sebagaimana pengakuannya dalam buku Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi; Pragmatisme dalam Aksi (2004).
Lantas, bagaimana cara pemerintah menghasilkan uang lewat PPN? Secara sederhana, dapat diilustrasikan dengan penjualan suku cadang mobil impor. Misalnya, seorang importir mengimpor suku cadang mobil dengan biaya Rp. 1.000. Setelah dikenai PPN 10 persen, biayanya menjadi Rp. 1.100.
Kemudian, suku cadang tersebut dijual kepada bengkel mobil seharga Rp. 2.200, dengan asumsi kenaikan harga 100 persen dan PPN 10 persen. Dari penjualan tersebut, importir menyisihkan Rp. 200. Dimana, Rp. 100 digunakan untuk mengompensasi PPN impor dan Rp. 100 disetor ke pemerintah sebagai PPN penjualan kepada bengkel mobil.
Selanjutnya, bengkel menjual suku cadang tersebut kepada pelanggannya seharga Rp. 4.400, sekali lagi dengan asumsi kenaikan harga 100 persen dan PPN 10 persen. Dari penjualan tersebut, bengkel menyisihkan Rp. 400. Dimana, Rp. 200 dipakai untuk mengompensasi PPN pembelian dari importir, dan Rp. 200 disetor ke pemerintah sebagai PPN penjualan kepada konsumen.
Tampak, keunggulan PPN bagi pengusaha adalah adanya jaminan uang kembali. Pengusaha yang telah membayar PPN saat membeli barang, akan mendapatkan uangnya kembali saat barang tersebut terjual. Sehingga, dengan sendirinya PPN dapat meminimalisir aksi pengemplangan pajak.
Namun, bagi konsumen, PPN adalah pajak tertutup. Konsumen tidak pernah tahu berapa harga yang ia bayar untuk produk dan berapa yang ia bayar untuk pajak. Karenanya, Robert W. McGee dalam The Philosophy of Taxation and Public Finance (2004), menilai PPN kurang etis, karena mengambil properti tanpa kesepakatan pemiliknya.
Terlepas dari itu, ilustrasi penjualan suku cadang impor tersebut menunjukkan, dengan mesin uang bernama PPN, pemerintah berhasil mengantongi Rp. 400. Ilustrasi tersebut sekaligus menjadi penjelasan mengapa pemerintah menggratiskan PPN mobil selama Pandemi ini.
PPN nol persen mendorong masyarakat membeli mobil baru, karena harganya lebih murah. Setelah dibeli, tentu mobil butuh aksesoris dan perawatan suku cadang. Di sinilah, PPN-PPN lain menanti para pemilik mobil baru.
Pemerintah mengorbankan PPN mobil untuk mendorong masyarakat mengonsumsi produk-produk ber-PPN lainnya, dalam hal ini adalah aksesoris dan suku cadang. Bonusnya, bisnis otomotif yang lesu akibat pandemi kembali bergairah.
Lalu, bagaimana dengan rancangan PPN sembako dan pendidikan?
Diktum yang diulang-ulang oleh pemerintah adalah “hanya sembako premium yang akan dikenai PPN”. Sekilas memang tampak adil, tapi sebenarnya kebijakan tersebut berisiko membelah masyarakat.
Nantinya, akan ada sembako premium khusus orang kaya dan ada sembako non premium khusus orang miskin. Dimana, sembako premium akan semakin sulit dijangkau oleh orang miskin.
Demikian pula dengan rancangan PPN pendidikan yang sama berisikonya, sekalipun yang akan dikenai PPN adalah sekolahan yang biayanya mahal.
PPN mengasumsikan orang kaya dari pengeluarannya, bukan dari penghasilannya. Konsekuensinya, PPN bersifat regresif, semakin kecil penghasilan semakin besar persentase pajaknya.
Jika dua orang sama-sama membayar pajak Rp. 50, yang pertama penghasilannya Rp. 100, yang kedua penghasilannya Rp. 1.000. Persentase pajak yang dibayar oleh orang yang pertama lebih besar dari pada orang yang kedua. Dengan kata lain, persentase pajak yang dibayar orang miskin lebih besar dari orang kaya.
Fakta di lapangan, banyak orang berpenghasilan kecil memilih menyekolahkan anaknya di sekolahan yang bagus, meskipun biayanya mahal. Pagi tempe, sore tahu, tak masalah, asalkan anak mendapat pendidikan berkualitas. Prinsip yang saya yakin, banyak dipegang oleh orang tua Indonesia.
Tidak etis. Jika para orang tua berpenghasilan kecil, yang ingin memperbaiki nasib dengan menyekolahkan anaknya di sekolahan yang bagus, justru harus membayar pajak dengan persentase lebih besar.
Karenanya, rancangan PPN sembako dan pendidikan ini harus dipertimbangkan matang-matang. Jangan sampai, karena silau dengan potensi pendapatan uang yang besar, nasib rakyat dipertaruhkan.
—Esai ini disampaikan dalam sebuah acara diskusi mahasiswa di UIN SMH Banten, 2021.
0 comments:
Posting Komentar