Homo economicus merupakan konsep yang tak kunjung selesai diperdebatkan. Ia menjadi konsep paling vital dalam struktur ilmu ekonomi arus utama, neo klasik. Kalau diibaratkan tubuh manusia, homo economicus adalah jantungnya. Namun, bagi penganut aliran ilmu ekonomi selain neo klasik, homo economicus adalah tumor yang harus diangkat dari tubuh ilmu ekonomi.
Sebenarnya, homo economicus hanyalah istilah formal untuk menyebut seperangkat asumsi dalam ilmu ekonomi yang mengganggap manusia rasional dan menomorsatukan utilitasnya.
Kendati demikian, banyak yang percaya bahwa homo economicus adalah sebuah konsep yang sumbang. Karena tidak ada manusia yang sepenuhnya rasional, bahkan manusia lebih cenderung berperilaku secara emosional. Karenanya, teori ekonomi yang mengasumsikan manusia rasional seperti homo economicus adalah teori yang fondasinya keliru.
Selain itu, banyak juga yang percaya, bahwa homo economicus bukanlah sekedar perangkat asumsi teoritis, melainkan doktrin yang perlahan mengubah manusia menjadi rakus dan kemaruk atas nama sains ekonomi.
Homo economicus memang bukan entitas persona, ia tak memakai sepatu apalagi kemeja, demikian tutur Herry Priyono secara komikal. Homo economicus hanyalah andaian metodologis, yang eksistensinya dapat kita jumpai dalam teori dan model yang dibangun oleh para ekonom.
Persoalan homo economicus ini sejak lama menarik perhatian saya. Pasalnya, dalam bidang keilmuan yang saya tekuni, ekonomi Islam. Muncul saingan homo economicus yang diberi nama homo Islamicus. Menarik bukan?
Momen itu tiba saat menulis tesis, saya putuskan untuk meneliti konsep homo Islamicus. Karena itu, saya juga butuh banyak materi mengenai konsep homo economicus.
Angin segar datang. Bertepatan dengan waktu saya menulis proposal, melintas info mengenai acara The Inaugural David Kreps Symposium di Stanford, AS. Yang temanya sangat provokatif: “Is Homo Economicus dead? Dying? Should he die?”.
Simposium itu menghadirkan pembicara mumpuni dalam bidang filsafat ilmu ekonomi, seperti Uskali Maki dan Nancy Cartwright. Saya pikir, simposium itu akan menghasilkan karya ilmiah berharga mengenai perkembangan mutakhir diskursus homo economicus.
Seperti meja operasi, simposium itu tampak akan membedah konsep homo economicus dengan pisau analisis dari berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan. Pasalnya, homo economicus telah didiagnosis sebagai organ yang tidak berfungsi dengan baik.
Dalam executive summary simposium itu ditulis, yang dalam bahasa sehari-hari kurang lebih seperti ini: kedepan, adalah hari-hari yang berat bagi homo economicus. Karena, kalaupun ia dianggap masih memiliki fungsi dalam struktur ilmu ekonomi, ia akan segera bersaing dengan economics behavioral dan big data.
Sayang sekali, simposium itu batal. Sepertinya, imbas merebaknya virus Corona. Dan, sialnya penelitian yang kadung saya tulis tidak bisa dibatalkan. Padahal, harapannya karya ilmiah yang dihasilkan dalam simposium itu dapat memperkaya penelitian yang saya tulis. Tampaknya, homo economicus benar-benar disayang Tuhan, hingga ia diselamatkan dari simposium yang hendak mengulitinya habis itu.
Meskipun, sebenarnya hasrat untuk mengenyahkan homo economicus dari ilmu ekonomi itu sudah ada sejak lama. Richard Thaler, peraih Nobel Memorial dalam bidang ilmu ekonomi tahun 2017, menghabiskan karir intelektualnya untuk menghabisi homo economicus. Dalam tanggal yang sama dengan diumumkannya Thaler sebagai pemenang hadiah Nobel, jurnalis The Atlantic, Derek Thompson menulis, “Richard Thaler Wins the Nobel in Economics for Killing Homo Economicus”.
Thaler berhasil menunjukkan bahwa sebenarnya manusia itu emosional dan irasional dalam pengambilan keputusan, dari mulai keputusan soal tabungan pensiun, kesehatan, hingga klub bola. Tentu, temuan Thaler itu mematahkan asumsi yang telah menjadi pakem dalam ilmu ekonomi yaitu, manusia sebagai seorang homo economicus yang sangat rasional.
Thaler sendiri dalam salah satu kolomnya di The New York Times menulis, bahwa manusia sungguhan bukanlah seorang homo economicus, yang sangat cerdas, tidak emosional, dan tidak punya gangguan mental, seperti tokoh fiksi Mr. Spock dalam film Startrek.
Menurut Thaler, manusia sungguhan lebih mirip karakter Homer dalam kartun The Simpson, yang bingung mengatur uang bulanan dan tabungan. Makanya, menurut Thaler, sebut saja ia “homer economicus” bukan “homo economicus”, atau kalau tidak mau, sebut saja ia “manusia”.
Bahkan, bagi filsuf Karel Kosik, homo economicus —seperti yang telah disinggung di muka— bukan sekedar andaian metodologis. Homo economicus adalah doktrin yang ditanamkan dalam perilaku ekonomi kita melalui prosedur metodologi yang dipegang teguh oleh ilmu ekonomi.
Mengandaikan manusia mengutamakan kepentingan pribadinya, sama dengan melazimkan perilaku tersebut. Dengan kata lain, homo economicus adalah doktrin yang berpotensi mendorong manusia menjadi rakus dan kemaruk.
Namun, homo economicus tak mau kalah, ia juga punya pendukung fanatik. Sebut saja ekonom Chicago yang juga penerima hadiah nobel, Gary Becker. Becker yakin betul bahwa cara terbaik untuk memahami dunia ini adalah dengan menggunakan logika homo economicus. Salah satu keyakinannya, misalnya: tingkat kriminalitas akan turun, jika biaya melakukan kriminalitas tinggi.
Terlepas dari itu semua, kritik dan evaluasi terhadap suatu teori adalah hal yang lumrah dalam tradisi ilmiah. Jika kita mau sebentar saja berziarah beberapa kurun ke belakang, akan kita jumpai banyak sekali kuburan teori ilmu pengetahuan termasuk dalam ilmu ekonomi, misalnya teori upah besi.
Namun, seperti yang dikatakan L.J. Zimmerman, perlu dibedakan antara teori yang gugur karena melanggar logika formal dengan adanya kontradiksi internal. Dengan teori yang gugur karena tidak aktual, dalam arti kehilangan relevansi empiris, kendati tidak melanggar logika formal.
Beruntung, saya dapat menikmati diskursus homo economicus dalam ilmu ekonomi yang apik itu. Dan, menulis penelitian mengenai pesaingnya, yaitu homo islamicus. Meski tertatih-tatih menulisnya dan serba kurang hasilnya.
0 comments:
Posting Komentar