Selasa, 11 April 2023

Human Capital


Ekonom klasik pada abad ke-18 telah menganalisis faktor-faktor yang menjadi syarat untuk memproduksi suatu komoditas. Misalnya menurut Adam Smith (1776), proses produksi terdiri dari tiga faktor, yaitu: tanah, kerja, dan modal. Tanah dimiliki oleh kelas tuan tanah yang mendapat penghasilan berupa sewa, kerja dimiliki oleh kelas buruh yang mendapat penghasilan berupa gaji, dan modal dimiliki oleh kelas kapitalis yang mendapat penghasilan berupa laba. Ketiga faktor itu juga yang membentuk harga suatu komoditas.

Perhatian terhadap manusia sebagai salah satu faktor produksi semakin tinggi pada abad ke-20, tampak dari munculnya istilah-istilah seperti “human relations”, “human engineering”, dan “personnel approach” dalam aktivitas manajemen. Ekonom E. Wight Bakke (1958) sampai membuat anekdot, jika seorang industriawan Rip Van Winkle dari abad ke-19 ketiduran dan baru bangun seratus tahun kemudian pada abad ke-20, maka salah satu dari sekian banyak perbedaan yang akan menjadi perhatiannya adalah penggunaan istilah-istilah itu.

Kendati demikian, kesadaran akan manajemen sumber daya manusia sebenarnya sudah muncul sejak era masyarakat kuno. Dalam masyarakat Mesir Kuno misalnya, menurut Saatci (2014), telah ada praktik manajemen sumber daya manusia dalam proyek pembangunan kuil-kuil mereka. Di mana, mereka telah memakai sistem presensi yang memasukkan setiap nama pekerja ke divisi-divisi tertentu, lalu mengklasifikasinya ke grup-grup tertentu. Selain itu, mereka juga sudah menerapkan sistem insentif untuk para pekerjanya. Di mana dalam salah satu praktiknya, pekerja kurang terampil mendapat 10 roti perhari, sedangkan para pengrajin mendapat 20 roti.

Kemajuan ilmu sosial saat ini membawa kita sampai pada konsep manusia sebagai modal, yang dikenal dengan istilah "human capital". Istilah ini pertamakali digunakan secara formal dalam literatur ilmu ekonomi oleh Irving Fisher pada tahun 1897 lewat tulisannya yang berjudul "Senses of “Capital”. Namun, dalam tulisannya, Fisher tidak mengelaborasi konsep human capital. Ia menjelaskan tentang kurang bergunanya klasifikasi dalam ilmu ekonomi, seperti klasifikasi human capital dan land capital, atau klasifikasi business capital dan private capital

Dalam artikelnya itu, Fisher menganjurkan ilmu ekonomi untuk menggunakan instrumen analitik. Seperti halnya ilmu fisika yang tidak mengklasifikasi benda-benda yang ada di alam semesta ke dalam benda ringan dan benda padat, melainkan menggunakan konsep kepadatan dan berat. Sebelumnya, ilmu biologi juga kurang berkembang karena membatasi analisisnya pada teknik klasifikasi tanaman dan binatang semata, sampai kemudian Charles Darwin memperkenalkan konsep abstrak mengenai variasi, keturunan, dan seleksi.

Adapun, diskusi mengenai konsep human capital dalam ilmu ekonomi pertamakali disinggung oleh A. C. Pigou dalam bukunya, "A Study in Public Finance" (1929). Pigou mengungkapkan, bahwa uang yang diperoleh dengan pengalihan dari konsumsi tidak sepenuhnya tidak relevan dengan masa depan. Ada yang namanya investasi dalam modal manusia serta investasi dalam modal material. 

Begitu hal itu disadari, perbedaan antara ekonomi dalam konsumsi dan ekonomi dalam investasi menjadi kabur. Karena pada titik tertentu, konsumsi adalah investasi dalam kapasitas produktif pribadi. Hal ini sangat penting dalam hubungannya dengan anak-anak: mengurangi pengeluaran yang berlebihan untuk konsumsi mereka dapat sangat menurunkan efisiensi mereka di kemudian hari.

Sebagaimana tercermin dari namanya, human capital memandang manusia sebagai modal, bukan sebagai sumber daya (resources). Adapun, prinsip fundamental dari human capital adalah bahwa kapasitas belajar orang nilainya sebanding dengan input yang dibutuhkan dalam proses produksi, seperti tanah dan mesin.

Konsep human capital ini sebenarnya cukup problematis dan tidak masuk akal, dalam taraf tertentu bahkan merugikan kelas pekerja. Pasalnya, pabrik dan mesin yang dimiliki kelas kapitalis dapat berfungsi sebagai jaminan pinjaman, tetapi tenaga kerja dari pekerja upahan tidak bisa. Ketika pekerja gagal membayar pinjaman, dia tidak dapat menjual “kekayaan” yang didasarkan pada daya penghasilan masa depannya, kecuali dia menjual dirinya sebagai budak (Hodgson, 2014).

Sayangnya, alih-alih berurusan dengan masalah konseptual yang fundamental ini, pendukung human capital lebih memilih bergerak untuk mengeksekusi program riset mereka. Mereka tidak menyadari atau lebih tepatnya mengabaikan keterbatasan konseptual memperlakukan manusia sebagai modal di samping input "modal" lainnya sebagai serangkaian argumen dalam fungsi produksi.

Salah satu pendukung konsep human capital yang terkemuka adalah Gary S. Becker, seorang penerima hadiah Nobel di bidang ekonomi. Menurut Becker, human capital mengacu pada pengetahuan, informasi, ide, keterampilan, dan kesehatan individu. Era sekarang disebut oleh Becker sebagai "The Age of Human Capital", di mana human capital sejauh ini menjadi bentuk modal yang paling penting dalam perekonomian modern. Keberhasilan ekonomi individu, dan juga keseluruhan ekonomi, tergantung pada seberapa luas dan efektif orang berinvestasi dalam diri mereka sendiri.

Sedangkan, yang dimaksud investasi human capital adalah segala kegiatan yang dapat mempengaruhi pendapatan moneter dan psikis di masa depan dengan meningkatkan sumber daya pada orang-orang. Bentuk investasi human capital tersebut adalah termasuk sekolah, kursus, perawatan medis, migrasi, dan lainnya.

Menurut Becker, studi menunjukkan bahwa modal yang diinvestasikan pada pria dan wanita adalah lebih dari 70 persen dari total modal di Amerika Serikat. Total yang diinvestasikan untuk sekolah, di tempat kerja pelatihan, kesehatan, informasi, dan penelitian dan pengembangan pasti lebih dari 20 persen dari produk domestik bruto. Teknologi mungkin menjadi pendorong ekonomi modern, terutama di sektor teknologi tinggi, tetapi sumber daya manusia tentu saja adalah bahan bakarnya.

Jadi, teori konsep human capital berusaha menjelaskan keuntungan dari pendidikan dan kursus sebagai sebuah investasi, yang menempatkan manusia sebagai salah satu bentuk modal dalam pembangunan ekonomi. Dalam perspektif human capital, pendidikan dan sekolah adalah investasi yang disengaja untuk mempersiapkan tenaga kerja, meningkatkan produktivitas individu dan organisasi, maupun untuk mendorong pertumbuhan dan pembangunan pada level internasional.


Sabtu, 26 November 2022

Ekonomi Menjajah Ilmu Sosial Lain?


Dalam beberapa tahun belakangan muncul pendekatan baru dalam ilmu sosial, yang mulanya berasal dari ilmu ekonomi, kemudian menyebar ke disiplin ilmu sosial yang lain. Pendekatan itu adalah integrasi antara perilaku manusia dengan institusi. Yaitu, pandangan bahwa perilaku manusia dideterminasi oleh preferensi dan kendala yang mereka hadapi, di mana kendala itu disebabkan oleh kondisi institusional. Pendeknya, institusi dianggap sebagai kesepakatan yang membentuk tabiat interaksi manusia. Adapun institusi itu dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis berikut ini:

Pertama, Sistem pengambilan keputusan, yaitu prosedur yang mana dengan prosedur itu keputusan diambil. Di antara sistem pengambilan keputusan itu adalah pasar, demokrasi, hirarki, dan tawar-menawar.  Misalnya, dalam pasar, perilaku sesorang kemungkinan dibatasi oleh pendapatan dan harga.

Kedua, Norma, tradisi, dan aturan perilaku lainnya, yaitu kendala yang berupa preskripsi baik yang ditetapkan secara formal oleh negara maupun preskripsi yang diajarkan oleh agama dan keluarga.

Ketiga, Organisasi, yaitu kendala terhadap ruang perilaku manusia yang disebabkan oleh entitas seperti negara, kelompok kepentingan, birokrasi, perusahaan, organisasi swasta, hingga asosiasi informal. Institusi yang dimaksud adalah institusi aktual bukan ideal, di mana institusi itu bukanlah sesuatu yang terberi kepada manusia, melainkan hasil perilaku manusia itu sendiri. Dan, salah satu tujuan analisis ilmu ekonomi adalah menjelaskan bagaimana institusi aktual itu muncul dan bertahan. Singkatnya, perilaku manusia dipengaruhi oleh institusi, tapi ada dan bertahannya institusi itu harus dapat dijelaskan melalui perilaku manusia.

Sifat Model Perilaku Manusia Dalam Ilmu Ekonomi 

Untuk menjelaskan perilaku manusia diperlukan bantuan lima elemen yang dapat kita sebut sebagai sifat-sifat model ekonomi tentang manusia.

1. Tindakan individu

Prinsip bahwa apa yang terjadi pada tataran sosial harus dijelaskan lewat perilaku individu (methodological individualism). Ini bukan berarti manusia terisolasi, sebaliknya, perilaku manusia hanya bisa dipahami sebagai hasil interaksi dengan manusia lainnya, lingkungan, serta pelbagai institusi. Karenanya, pernyataan semisal "sesuatu secara sosial diinginkan" dianggap tidak relevan, karena "masyarakat" dianggap bukanlah unit perilaku yang dapat memberikan evaluasi.

2. Insentif memengaruhi perilaku 

Prinsip bahwa orang tidak bertindak secara acak, melainkan bereaksi secara sistematis dan dapat diprediksi dalam mempertimbangkan kemungkinan tindakan yang akan lebih menguntungkan atau lebih merugikan. Manusia memiliki kemampuan mencari dan menemukan solusi, tetapi dengan informasi yang terbatas. Mereka membentuk harapan tentang masa depan, serta membandingkan kelebihan dan kekurangan dari kemungkinan tindakan yang tersedia bagi mereka. 

3. Insentif dihasilkan oleh Preferensi dan Kendala, yang mana keduanya dibedakan secara ketat

Prinsip ini menyatakan bahwa tindakan manusia dipengaruhi oleh insentif yang dihasilkan oleh preferensi dan kendala. Di mana, dalam analisis ilmu ekonomi, preferensi dan kendala ini dibedakan seara ketat. Misalnya, terjadi peningkatan kecenderungan membeli mobil dengan ukuran yang lebih kecil. Kita mungkin bisa mengatakan bahwa telah terjadi pergeseran preferensi yang memberi nilai lebih pada mobil kecil, misalnya karena mengikuti nilai etika pasca industri. 

Tapi, pernyataan semacam ini tidak dapat diuji secara empiris. Sebaliknya, kita bisa mengatakan bahwa telah terjadi perubahan preferensi karena perilaku manusia telah berubah. Pernyataan yang terakhir ini memang bisa diuji secara empiris, tapi tidak bermakna. Karena, tidak menghasilkan pengetahuan baru.

Adapun, ketika menghadapi fenomena seperti itu, ilmu ekonomi akan mengaitkan peluang tindakan yang tersedia bagi seseorang dengan perubahan kendala yang teramati secara empiris. Misalnya, ilmu ekonomi akan menjelaskan bahwa peningkatan kecenderungan membeli mobil dengan ukuran lebih kecil terjadi dikarenakan adanya perubahan kendala berupa kenaikan harga BBM, sehingga orang lebih memilih membeli mobil kecil yang lebih irit. Singkatnya, ilmu ekonomi tidak menyandarkan analisisnya pada perubahan preferensi nilai yang non empiris, tapi pada perubahan kendala yang dapat diamati secara empiris.

4. Individu mengejar kepentingan mereka sendiri dan umumnya berperilaku egois

Asumsi ini sekilas tampak negatif, padahal sederhanya, tidak mungkin setiap orang selalu bertindak murah hati terhadap orang lain. Begitu sebaliknya, tidak mungkin setiap orang selalu berusaha untuk menyakiti orang lain. Keduanya itu, tentu tidak realistis. Asumsi perilaku egois mengambil posisi tengah-tengah. Gampangnya, perilaku egois dapat diartikan sebagai prinsip yang menganggap manusia bertindak demi keuntungannya sendiri.

5. Kendala menentukan sekumpulan kemungkinan yang dimiliki manusia, di mana kendala itu kebanyakan dihasilkan oleh institusi.

Ada tiga kendala yang sangat penting: (1) Pendapatan pribadi, meliputi harta dan kemungkinan mendapatkan kredit. (2) Harga relatif untuk barang dan jasa. (3) Waktu yang dibutuhkan untuk konsumsi dan beraktivitas. Kendala pertama dan kedua menentukan pendapatan riil seseorang. Sedangkan, kendala ketiga menentukan pendapatan pribadi. Misalnya, seseorang yang ingin meningkatkan pendapatannya, maka ia harus mengurangi waktu santai dan istirahat.

Hukum Permintaan 

Dengan kelima elemen ini kita dapat menurunkan hukum umum permintaan. Hukum permintaan menyatakan jika harga relatif suatu barang naik, maka permintaan akan barang tersebut menjadi lebih sedikit. Hukum ini didasarkan pada prinsip substitusi marjinal. Di mana, kenaikan harga relatif tidak memicu perubahan perilaku secara total dan tiba-tiba, melainkan hanya sedikit atau banyak penyesuaian untuk mengubah kelangkaan. 

Selain itu, hukum permintaan juga didasarkan pada prinsip ceteris paribus. Di mana, pengaruh faktor-faktor lain pada permintaan dianggap tetap, sehingga harus diperhitungkan secara terpisah. Misalnya, peningkatan kecenderungan membeli mobil yang lebih kecil yang dikendalai oleh kenaikan harga BBM tidak akan terjadi, jika tingkat pendapatan naik.

Perbedaan dengan Ilmu Sosial Lain dalam Memandang Manusia

Model perilaku manusia dalam ilmu sosiologi, politik, dan hukum, sangat berbeda dengan model perilaku manusia dalam ilmu ekonomi. Di mana, dalam ilmu-ilmu tersebut, perilaku manusia diasumsikan ditentukan oleh faktor moral dan sosial melalui proses sosialisasi dan internalisasi. 

Misalnya, model perilaku homo sociologicus yang terdiri dari prinsip: (1) Perilaku manusia ditentukan oleh masyarakat, masyarakat merupakan entitas di mana perilaku seseorang berasal. (2) Orang bertindak dalam peran. Pada dasarnya, masyarakat terdiri dari jaringan norma perilaku, sistem peran memicu harapan perilaku yang memungkinkan koeksistensi, dan Penyimpangan peran hanya mungkin jika sosialisasi tidak mencukupi. (3) Penyimpangan perilaku mendapat hukuman dari masyarakat. Hukuman, terutama di masa muda dan di dalam keluarga, berfungsi untuk memperkuat dan melengkapi sosialisasi

Model homo sosiologicus tersebut tidak dikaitkan dengan kekuatan yang memungkinkan manusia untuk belajar dan menemukan solusi sendiri. Kendala hanya ditetapkan oleh sanksi dan harapan peran orang lain, bukan oleh pendapatan, harga, waktu, faktor fisik dan psikis, seperti dalam ilmu ekonomi. Akibatnya, faktor kelangkaan menjadi kurang diperhatikan. 

Menurut berbagai penelitian empiris, dalam kondisi di mana pendapatan, harga relatif, dan kelangkaan waktu membatasi perilaku manusia sampai batas tertentu, pendekatan ekonomi terbukti lebih unggul dari pendekatan sosiologi.

Kendati demikian, ilmu ekonomi tentu juga bisa belajar dari sosiologi. Khususnya untuk memasukkan berbagai macam nilai, keinginan, dan norma yang terinternalisasi, serta aspek persepsi yang ditransmisikan oleh proses sosial ke dalam pendekatan ekonomi.

Keputusan manusia dibagi menjadi beberapa aspek parsial, sehingga ada keterbatasan jumlah informasi maupun upaya psikis. Misalnya, seseorang ingin mencapai suatu tujuan dan puas jika tujuan itu tercapai, dalam kasus ini tidak terjadi maksimalisasi. Konsep rasionalitas terbatas dan kepuasan tidak boleh ditafsirkan sebagai maksimalisasi yang tunduk pada kendala tambahan dalam bentuk informasi yang tidak lengkap. "Rasionalitas" tidak berhubungan dengan hasil tindakan tetapi lebih pada bagaimana orang bertindak, yaitu, mengacu pada proses kognitif.

Jenis interdisipliner yang diperjuangkan dalam tulisan ini adalah aplikasi pemikiran ekonomi untuk bermacam-macam topik. Bukan interdisipliner dalam arti campuran pendekatan metodologis dari berbagai ilmu. Yang mana, interdispliner semacam itu hanya akan menghasilkan eksposisi jurnalistik, bukan analisis ilmiah.

Kedua pandangan tentang manusia memiliki kekuatannya masing-masing: ekonomi lebih menjelaskan perubahan perilaku manusia, sedangkan sosiologi menjelaskan tingkat yang ada secara historis. Misalnya, dalam kasus partisipasi pemungutan suara, ekonom berkonsentrasi untuk menjelaskan mengapa pada saat tertentu partisipasi lebih tinggi atau lebih rendah dari rata-rata, sedangkan sosiolog mencoba menjelaskan partisipasi rata-rata.

Sumber dan Varian Model Perilaku Manusia

Pendekatan ekonomi terhadap tindakan manusia telah diutarakan oleh penulis klasik seperti Adam Smith (1776). Individualisme metodologis, keyakinan akan adanya hukum (orientasi nomologis), keegoisan sebagai suatu insentif yang krusial, pentingnya kendala (kelangkaan sarana), dan relevansi institusi untuk memandu perilaku manusia, semuanya dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan para ekonom klasik.

Sejauh ini, tidak ada nama unik untuk "pandangan ekonomi tentang dunia" ini. Tergantung pada aspek apa yang ditekankan, misalnya: "The Economic Approach to Human Behavior" (Becker 1976); "The New World of Economics" (McKenzie and Tullock 1975; Kirchgassner 1988); "Non-Market Economics" (Tullock 1991); "New Political Economy" (Bombach 1977178; Boettcher 1983; Lindenberg 1985a); "Comparative Analysis of Institutions" (Frey 1990); "Institutional Choice" (Schenk 1983, 1988), atau "New Institutionalism" (Coase 1984; Furubotn and Richter 1984; Williamson 1986).

Sedangkan, dalam sosiologi, istilah "pendekatan pilihan rasional" lebih dominan digunakan, adapun dalam ilmu politik, terutama di Amerika Serikat, lebih banyak digunakan istilah “teori ekonomi politik” dan “pilihan publik”.

Rasionalitas, Maksimalisasi Utilitas, dan Bertahan Hidup

Untuk memahami seperti apa manusia dalam pandangan ilmu ekonomi, diperlukan pembahasan mengenai dua aspek yang sangat kontroversial berikut ini.

1. Rasionalitas dan maksimalisasi utilitas

Perilaku rasional bukanlah tujuan, melainkan sarana. Seorang aktor rasional, harus berperilaku konsisten secara internal. Umumnya, rasionalitas dipahami sebagai pengejaran yang masuk akal akan kepentingan diri sendiri. Ini adalah model homo economicus. Sedangkan, beberapa penulis berasumsi bahwa pemaksimalan utilitas tunduk pada kendala yang disuguhkan oleh lingkungan. Namun, ternyata model maksimalisasi utilitas yang ketat tidak diperlukan untuk menurunkan (sebagian besar) teori dan proposisi yang dapat diuji secara empiris, kecuali dalam rangka merumuskan formulasi matematika.

Namun, penjelasan tentang perilaku manusia tidak didasarkan pada asumsi maksimalisasi utilitas, melainkan pada lima karakteristik yang telah disinggung sebelumnya: individualisme, reaksi sistematis terhadap insentif, perbedaan antara preferensi dan kendala, di mana perubahan kendala menentukan perubahan perilaku, egoisme, dan peran institusi. Pendekatan ini sesuai dengan "rasionalitas terbatas". 

2. Rasionalitas dan bertahan hidup

Sampai batas tertentu, manusia dipaksa bertindak rasional, jika tidak, mereka akan tereliminasi dalam persaingan atau bangkrut.  Menurut pandangan Darwinian ini, orang tidak memilih untuk bertindak secara rasional, melainkan lingkungan sosial yang hanya mentolerir rasionalitas. Namun, analogi seleksi alam dalam biologi seharusnya tidak ditarik terlalu jauh karena konsepnya sama sekali tidak jelas.

Aplikasi Cara Pandang Ekonomi Ekonomi

Buku teks ekonomi mikro ortodoks yang membahas perilaku orang sebagai konsumen dan sebagai produsen (perusahaan) seringkali didasarkan pada model yang disederhanakan. Orang-orang mendapat informasi lengkap, semua transaksi gratis, dan alternatif terbaik adalah ditemukan tanpa usaha, biaya, dan dalam waktu yang sangat singkat. Seolah urusan ekonomi berlangsung dalam ruang hampa. 

Akibatnya ini jenis ekonomi mikro ortodoks hanya dapat berkontribusi secara terbatas terhadap pemahaman tentang masalah masa kini. Begitu juga dengan ekonomi makro yang mengasumsikan orang mempertimbangkan semua informasi yang relevan dalam memutuskan tindakan untuk memaksimalkan utilitas mereka. Keduanya akan mendapat manfaat yang besar jika mengadopsi pandangan yang lebih realistik tentang manusia, terkhusus jika mengadopsi pengaruh institusi dalam analisnya.

Bidang Lain

Cara pandang ekonomi juga diaplikasikan dalam bidang lain, dalam bidang sejarah misalnya, menjelaskan bagaimana dan mengapa tahanan perang diperlakukan sangat berbeda dalam waktu yang berbeda. Atau dalam politik, menjelaskan bagaimana peran factor pengangguran terhadap jatuhnya Republik Weimar dan bangkitnya Sosialisme Nasional di Jerman.

Interdisiplinitas dan Paradigma Ilmu Sosial

Interdisipliner tidak mengacu pada metode ilmiah tapi pada topik. Penggunaan pendekatan tunggal memungkinkan untuk melihat bagian-bagian masyarakat yang berbeda dari satu sudut pandang. Ilmu-ilmu sosial tidak lagi dibedakan menurut bidang aplikasinya yang dominan, khususnya ekonomi tidak lagi dibatasi untuk mempelajari ekonomi. Pendekatan yang menjelaskan perubahan perilaku manusia pada perubahan kendala menjadi paradigma umum ilmu sosial. Meski tidak menutup kemungkinan pendekatan ilmu lain juga dapat diterapkan dalam ekonomi, contohnya adalah kemunculan disiplin "ekonomi sosiologi".

Bagaimana Pendekatan Ekonomi Telah Diterima dalam Ilmu Lain

Penerapan pendekatan ekonomi pada bidang ilmu lain, misalnya ekonomi seni, dianggap oleh beberapa orang sebagai "imperialisme ekonomi", sehingga harus ditolak. Namun, "imperialisme" yang sama, yang dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial lain ternyata dapat diterima, seperti misalnya sosiologi seni, psikologi seni, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa masalahnya tidak terletak pada imperialisme seperti yang dituduhkan, melainkan dalam cara berpikir para ekonom.

Pendekatan ekonomi dalam ilmu politik kurang diterima di Eropa, tapi diterima dengan baik di Amerika Serikat. Teori ekonomi politik, atau pilihan publik misalnya, sekarang telah diterima sebagai varian yang penting dari ilmu Politik. Sementara, dalam sosiologi hal itu kurang terjadi, di mana pendekatan pilihan rasional hanya diterapkan oleh sekelompok kecil sarjana. Dalam bidang hukum, pendekatan ekonomi mendapat tempat yang bagus di Amerika Serikat, salah satu contohnya adalah kemunculan analisis ekonomi hukum. Dalam psikologi ada yang mencoba memperkenalkan pendekatan ekonomi dalam psikologi, tapi kurang dikenal. Sedangkan, dalam bidang sejarah dan seni hampir sepenuhnya tidak diketahui apakah pendekatan ekonomi diterapkan dalam bidang tersebut.

—Disadur secara bebas dari tulisan Bruno S. Frey yang berjudul Economics as a Social Science: Approach, Applications and Interdisciplinarity.


Kamis, 26 Mei 2022

Tuhan; Mutakallimin dan Filsuf


Ungkapan populer “barang siapa yang mengenal dirinya sendiri, akan mengenal Tuhannya”, secara tersurat menginformasikan kepada kita tentang sebuah cara yang ajeg untuk mengenal Tuhan. Tapi secara tersirat, tampaknya ungkapan itu justru dapat dibaca kebalikannya; sebagai ekspresi yang memperlihatkan betapa sulitnya mengenal Tuhan. Semacam retorika yang memberi efek dramatis, ketimbang instruksi praktis.

Dalam tradisi sufi, mengenal Tuhan adalah domain intuisi gaib yang disebut dengan ma’rifah. Filsuf sekaligus teolog berkebangsaan Jerman, Rudolf Otto, dalam The Idea of The Holy menyebut intuisi gaib sejenis itu dengan numinous: sesuatu yang tidak bisa diajarkan, melainkan dibangkitkan. Dan numinous adalah dasar dari setiap ajaran agama.

Karenanya, sangat bisa diterima, jika dalam buku Sejarah Tuhan, Karen Armstrong menyebut “Semua perbincangan tentang Tuhan adalah perbincangan yang sulit”. Apalagi yang diperbincangkan adalah Tuhan yang berkata-kata, yang memerintah dan melarang, terkadang juga mengancam, sebagaimana Tuhan dalam tradisi agama Abrahamik: Yahudi, Kristen, dan Islam.

Kendati demikian, bukan berarti tidak ada potret tentang figur Tuhan di luar intuisi gaib. Nalar diskursif ikut memainkan peran penting dalam menopang persepsi manusia mengenai Kekuatan Adi Kodrati itu. Dalam khazanah intelektual Islam, domain yang terakhir ini menjadi porsi ilmu kalam dan falsafah. Di sini isu mengenai Tuhan yang personal dan impersonal mengemuka. Duel klasik Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd menjadi ikonnya.   

Ilmu Kalam dan falsafah sama-sama membahas tentang eksistensi Tuhan. Bedanya, ilmu falsafah bersandar pada premis-premis filosofis yang spekulatif, serta sangat dipengaruhi oleh gagasan filsafat Yunani Kuno. Tapi dapat dikatakan, semangat ilmu falsafah adalah ingin mendamaikan konsep Tuhan dalam Al-Qur’an, dengan konsep Tuhan dalam filsafat Yunani Kuno. Dalam ilmu falsafah juga muncul istilah-istilah yang khas sebagai sebutan lain untuk Tuhan. Misalnya, Al-Kindi menyebut Tuhan dengan “Al-Wahid Al-Haq” (Yang Satu Sejati), dan Ibnu Sina dengan “Al-Wajib Al-Wujud” (Yang Wajib Ada).

Sebaliknya, spekulasi filosofis dalam ilmu kalam sepenuhnya bersandar pada teks Al-Quran dan tidak mengekor pada filsafat Yunani Kuno. Ilmu kalam menjadikan doktrin tentang Tuhan yang tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur’an sebagai premis mutlak yang tidak dapat diganggu-gugat. Sebagai contoh, ilmu kalam berusaha membela konsep kemahakuasaan Tuhan yang termuat dalam banyak ayat Al-Quran, dengan memunculkan spekulasi filosofis mengenai teori atom (jawhar).

Sampai di sini, sebenarnya cukup berdasar jika kita menyebut ilmu kalam dan falsafah sama-sama merupakan penyelidikan filsafat. Menurut Oliver Leaman dalam An Introduction to Classical Islamic Philosophy, argumen-argumen filosofis dalam khazanah intelektual Islam lahir lewat perkembangan penalaran hukum Islam, jauh sebelum filsafat Yunani Kuno masuk ke dunia Islam.

Hal ini ditegaskan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi dalam disertasinya yang dipublikasikan dengan judul “Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan?”. Ia menganggap ilmu falsafah sekadar sebuah tren dalam khazanah filsafat Islam, bukan representasi dari keseluruhan filsafat Islam.

Dari kaca mata ini, perseteruan antara ilmu kalam dengan falsafah, ataupun perang pena antara Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd, dapat kita lihat sebagai derbi filsafat Islam. Itu sebabnya, dalam tulisan ini dibedakan antara istilah falsafah dengan filsafat Islam.

Kembali ke persoalan eksistensi Tuhan. Pada dasarnya, ahli kalam dan filsuf sepakat bahwa Tuhan tidak sama dengan semua hal apapun, Dia Esa dan Istimewa. Namun, mereka berselisih mengenai bagaimana alam semesta dengan makhluk hidup yang beraneka ragam bisa mewujud dari satu Wujud Yang Esa.

Ahli kalam percaya bahwa alam semesta ada karena Tuhan memang berkehendak menciptakannya. Bagi mereka, Tuhan adalah pelaku penciptaan yang terus menerus mengontrol alam semesta beserta kehidupannya. Tuhan mengirim nabi dan rasul, memberi azab dan hidayah, memilih para wali, hingga mengendalikan orbit planet dan galaksi.

Sementara itu, ahli falsafah menyatakan bahwa Tuhan tidak menciptakan alam semesta, melainkan alam semesta beremanasi atau memancar dari Zat Tuhan. Di sini, Tuhan dianggap sebagai sebab emanasi, bukan pelaku penciptaan. Jadi, alam semesta ada bukan karena Kehendak Tuhan, tapi karena keniscayaan Zat Tuhan, seperti keniscayaan cahaya memancar dari matahari. Secara singkat, Tuhan diidentifikasi sebagai penggerak yang tidak digerakkan “The Unmoved Mover”.

Ahli falsafah mempertanyakan, mengapa Tuhan berkehendak menciptakan alam semesta pada momen waktu tertentu? Bukankah semua momen waktu adalah sama, kecuali ada alasan yang membedakannya? Kata mereka, jika tidak ada alasan yang membedakan, tentu ada atau tidaknya alam semesta tidak bisa dipilih. Sementara, menetapkan Tuhan dapat membedakan antara dua hal yang sama adalah kontradiktif, karena sama berarti tidak ada perbedaan. Dengan kata lain, konsep Tuhan berkehendak menciptakan alam semesta adalah tidak logis.

Al-Ghazali dengan metode dialog imajiner yang menarik, mengangkat polemik ini dalam karyanya yang berjudul Tahafut Al-Falasifah. Ia menganggap pertanyaan ahli falsafah itu absurd. Menurut Al-Ghazali, fungsi dari kehendak sedianya memang untuk membedakan salah satu di antara hal-hal yang sama. Kehendak sejajar dengan tujuan, sehingga tidak perlu ada alasan ekstrinsik apapun agar subjek dapat berkehendak. Oleh karenanya, menanyakan mengapa Tuhan berkehendak menciptakan alam semesta pada momen waktu tertentu, sama absurdnya dengan bertanya mengapa penyesalan muncul di belakang.

Terlepas dari argumen mana yang paling kuat di antara dua argumen itu. Tampak jelas, Tuhan dalam pandangan para ahli falsafah sangat impersonal dan pasif. Konsep Tuhan yang demikian paralel dengan keyakinan orang Yunani Kuno, yang menganggap dinamika dan perubahan sebagai ciri realitas inferior. Sebaliknya, Realitas Superior berciri statis dan permanen. Kata Karen Armstrong, kelemahan konsep Tuhan seperti ini adalah memproyeksikan Tuhan sebagai sesuatu yang jauh, sehingga tidak dapat mengilhami pencarian spiritual. Dalam sejarah Islam, karir keilahian Tuhan para ahli falsafah tersebut kurang cemerlang.

Sementara Tuhan dalam pandangan ahli kalam lebih personal dan aktif. Tidak sejengkalpun tempat di alam semesta luput dari yurisdiksi-Nya, dan tidak satu peristiwapun terjadi di luar kehendak-Nya. Tuhan dianggap sangat dekat dengan makhluknya, yang sering diungkapkan dengan metafor “lebih dekat dari urat leher”. Konsep Tuhan yang demikian ini, menjadi konsep Tuhan yang dipegang oleh mayoritas umat Islam.

Namun, konsep Tuhan tersebut juga menimbulkan masalah yang pelik. Jika Tuhan mengatur semua hal, lantas bagaimana kedudukan makhluk Tuhan, khususnya manusia sebagai makhluk yang berpikir? Apakah seperti bidak catur yang digerakkan seenaknya oleh Tuhan, atau bebas menentukan kehendaknya sendiri, di luar yang Tuhan kehendaki? Jawaban ahli kalam atas pertanyaan tersebut sangat rumit dan jelimet. Syukurlah, Fazlur Rahman dalam Major Themes of The Qur’an meringkasnya dengan apik seperti ini: status makhluk Tuhan adalah otonom, tapi tidak otokratis.

—mjscolombo.com, 2022.


Senin, 23 Mei 2022

Bawon, Kasur Pengaman Petani di Tengah Wabah


Agaknya kata bawon kurang familiar di telinga orang kota, bahkan di antara kita mungkin ada yang baru pertama kali ini mendengarnya. Kata yang berakar pada masyarakat pedesaan Jawa ini sebenarnya sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia dan tercatat dalam KBBI, kendati tak sepopuler kata unggah dan unduh.

KBBI menyebut bawon sebagai “Pembagian upah menuai padi yang berdasarkan banyak sedikitnya padi yang dipotong”. Sayangnya, KBBI tidak mencantumkan entri contoh penggunaan kata bawon. Sehingga, orang yang bukan bagian dari masyarakat penuturnya seperti orang kota, sulit menangkap konotasinya.

Ada apa dengan bawon? Hingga tahun 2021 ini wabah Covid-19 masih menghantui kita, dampaknya terhadap perekonomian tentu belum akan berakhir, meski kita berharap agar segera mereda.

Laporan Bank Dunia bertajuk Ex–ante Poverty & Distributional Impacts of Covid–19 in Indonesia (2020), memprediksi program bantuan pemerintah seperti sembako dan BLT dapat menurunkan angka kemiskinan menjadi 9,0 sampai 8,2 persen di 2020. Jika program bantuan tersebut tidak dikucurkan, diprediksi angka kemiskinan naik menjadi 10,7 persen hingga 11,6 persen.

Kenyataannya, Profil Kemiskinan di Indonesia September 2020 dari BPS memperlihatkan, meski program bantuan sudah direalisasikan, jumlah orang miskin bertambah 1,13 juta selama Maret-September 2020. Angka kemiskinan naik menjadi 10,19 persen atau sama dengan 27,55 juta orang per September 2020. Juara kenaikan kemiskinan tertinggi dipegang daerah perkotaan, naik 876,5 ribu orang. Sedangkan, di pedesaan naik 249,1 ribu orang.

Ekonomi pedesaan tampak lebih tangguh dalam menghadapi wabah Covid-19. Tidak dipungkiri program bantuan turut menyokong ketangguhan desa dalam menghadapi wabah. Tapi, naif jika program bantuan dianggap satu-satunya penyokong ketangguhan ekonomi desa.

Program bantuan diprediksi akan mengurangi kemiskinan di 2020, kenyataannya kemiskinan masih meningkat tajam, bahkan peningkatannya seperti dalam skema jika program bantuan tidak direalisasikan. Artinya, dampak wabah Covid-19 terhadap perekonomian sangat besar, melampaui prediksi Bank Dunia.

Karenaya, agar lebih jernih melihat ketangguhan ekonomi pedesaan dalam menghadapi wabah Covid-19, patut kita duga kultur masyarakat pedesaan turut meyumbang terhadap ketangguhan ekonominya.

Masyarakat pedesaan mayoritas berprofesi petani. Namun, petani di pedesaan Indonesia secara umum tidak sama dengan farmer, pengusaha pertanian di negara barat. Petani Indonesia lebih dekat kepada peasant, orang yang bercocok tanam untuk keperluan hidup sehari-hari dan bermasyarakat.

Eric R. Wolf dalam bukunya Peasants (1966), menyebut farmer lebih berorientasi bisnis, sedangkan peasant berorientasi sosial. Karenanya, sebagian output peasant selalu diorientasikan untuk kegiatan sosial dan ritual.

Berdasarkan Hasil Survai Pertanian Antar Sensus (Sutas) 2018, subsektor pertanian yang paling besar di Indonesia adalah penanaman padi. Ada 13 juta rumah tangga yang menanam padi, 9 jutanya adalah rumah tangga petani gurem, yang menguasai sawah kurang dari 0,5 hektar.

Saat musim panen, biasanya petani gurem dan tuna kisma (tidak punya sawah) bekerja menuai padi secara berkelompok yang terdiri dari 20 sampai 30an orang. Upahnya adalah bawon, yaitu gabah yang jumlahnya disesuaikan dengan banyak sedikitnya hasil gabah dari sawah yang dituai.

Sementara BPS menyebut, beras merupakan penyebab kemiskinan terbesar per September 2020, yaitu 16,58 persen di perkotaan dan 21,89 persen di pedesaan. Persentase desa lebih besar karena jumlah kemiskinan di desa memang lebih besar, yaitu 27,55 juta orang, sementara di perkotaan 12,04 juta orang.

Anomalinya, mengapa selama wabah peningkatan kemiskinan di desa lebih sedikit? Sangat beralasan menyebut bawon sebagai variabel kultural penyokong ketangguhan ekonomi pedesaan, sehingga peningkatan kemiskinan di pedesaan lebih sedikit. Bawon menjadi mekanisme distribusi gabah, yang memungkinkan petani gurem dan tuna kisma punya stok beras. Selain itu, dilarangnya kegiatan keramaian sosial maupun ritual seperti hajatan dan selamatan selama wabah Covid-19, membuat stok beras petani menguat bahkan mungkin surplus.

Sayangnya, jumlah kemiskinan di pedesaan masih besar sekali, penyebabnya tentu sangat kompleks, corak pertanian peasant yang kurang kompatibel dengan ekonomi pasar dianggap sebagai salah satunya. Clifford Geertz dalam Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia (1963) menyebutnya dengan shared poverty “kemiskinan yang ditanggung bersama”.

Tentu, pertanian Indonesia sudah banyak berubah dibanding saat Geertz melakukan penelitian, khususnya sejak Orba menggalakkan green revolution yang memasifkan penggunaan pupuk dan obat kimia, sehingga petani mulai berpikir input-output dan berorientasi pasar. Namun, orientasi sosial khas pertanian peasant masih kuat.

Orientasi sosial ini nampaknya sudah mendarah daging dalam diri petani Indonesia dan sulit dilenyapkan. W.H.A. Wesselink dan K.Yff dalam buku Sejarah Ekonomi (1959) membandingkan kondisi petani Indonesia dan Jerman sebelum abad ke 16, meski sama-sama tinggal di desa, petani di Jerman hidup secara individual, sedangkan petani di Indonesia memiliki kesadaran bahwa mereka adalah anggota masyarakat desa yang berjiwa komunal dan gotong royong.

Bawon merupakan salah satu jenis upah dengan orientasi sosial kuat yang masih lestari hingga sekarang, sistem upah bawon hanya mengalami adaptasi dari yang anggota kelompoknya tidak dibatasi menjadi terbatas, dan mulai digunakannya mesin perontok padi. Kendati ada sistem upah lain, seperti tebasan, di mana penuai adalah anak buah tengkulak yang memborong lahan padi, bawon tetap menjadi sistem upah yang banyak digunakan di Sumatera dan Jawa.

Sistem bawon menciptakan keseimbangan harga upah, di mana kelompok penuai tidak bisa mematok harga upah semaunya, karena pemilik sawah bisa beralih ke kelompok penuai lain. Begitupun, pemilik sawah tidak bisa mengupah semena-mena, karena tidak akan ada yang mau menuai padinya. Berbeda dengan sistem tebasan yang terkadang menimbulkan kesewenang-wenangan, di mana petani terpaksa menerima harga upah yang ditetapkan tengkulak karena terlanjur punya utang modal pada mereka.

Benar, bawon adalah warisan kultur pertanian peasant yang kurang efisien dalam ukuran farmer, namun, jangan buru-buru menghakiminya sebagai shared poverty. Radius Prawiro, salah seorang begawan ekonomi Indonesia, dalam Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi; Pragmatisme Dalam Aksi (2004), secara lebih optimis melihat bawon sebagai budaya jaminan sosial yang ditanggung bersama.

Tentu sangat masuk akal, karena bawon menjamin petani yang tidak punya sawah kebagian pasokan beras, bukan melalui subsidi atau filantropi, melainkan lewat transaksi jasa dengan keseimbangan harga upah alami.

Inilah yang turut membuat peningkatan kemiskinan di pedesaan lebih sedikit dibandingkan perkotaan selama wabah Covid-19. Karena, selain program bantuan sebagai jaring pengaman sosial yang disiapkan pemerintah, desa memiliki bawon sebagai kasur pengaman sosial yang lahir dari jiwa gotong royong. Jaminan sosial seperti bawon tidak dijumpai di perkotaan, karenanya wajar ketika perekonomian terganggu akibat wabah Covid-19, dampaknya lebih parah.

Linggau Pos Online, 2021.


Rabu, 23 Februari 2022

Bahaya PPN Sembako & Pendidikan


Belum lama ini, pemerintah mengajukan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) kepada DPR. Di mana, salah satu poin RUU itu adalah memajaki produk sembako dan jasa pendidikan dengan pajak pertambahan nilai (PPN). 

Kendati kontroversial dan wacananya mulai redup ditilap isu-isu besar lain, tampaknya rancangan PPN sembako dan pendidikan akan diperjuangkan habis-habisan oleh pemerintah. Pasalnya, PPN sembako dan pendidikan dicanangkan sebagai bagian dari program pemulihan ekonomi jika nantinya pandemi Covid-19 mereda. Pertanyaannya, mengapa harus PPN?  

Ekonom, Arnold C. Harberger, memuji PPN sebagai pajak yang robust dan bagus. Dalam Principles of Taxation Applied to Developing Countries: What Have We Learned? (1990), Harberger menulis, “Dalam setengah abad terakhir, tidak ada perkembangan dalam bidang keuangan publik yang mampu menandingi kemunculan dan penyebaran PPN”.

Pajak yang serupa dengan PPN pertama kali diterapkan di Prancis pada awal tahun 1950-an. Pada dekade berikutnya, penerapan PPN menyebar ke berbagai negara di seluruh penjuru dunia, baik negara maju maupun berkembang, tak terkecuali Indonesia. 

Di Indonesia, PPN pertama kali diterapkan pada tahun 1984, menggantikan pajak penjualan yang pelaksanaannya rumit dan jelimet. Radius Prawiro, menteri keuangan yang mengusulkan rancangan PPN ke DPR kala itu, menobatkan PPN sebagai "mesin uang". Sebagaimana pengakuannya dalam buku Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi; Pragmatisme dalam Aksi (2004).  

Lantas, bagaimana cara pemerintah menghasilkan uang lewat PPN? Secara sederhana, dapat diilustrasikan dengan penjualan suku cadang mobil impor. Misalnya, seorang importir mengimpor suku cadang mobil dengan biaya Rp. 1.000. Setelah dikenai PPN 10 persen, biayanya menjadi Rp. 1.100. 

Kemudian, suku cadang tersebut dijual kepada bengkel mobil seharga Rp. 2.200, dengan asumsi kenaikan harga 100 persen dan PPN 10 persen. Dari penjualan tersebut, importir menyisihkan Rp. 200. Dimana, Rp. 100 digunakan untuk mengompensasi PPN impor dan Rp. 100 disetor ke pemerintah sebagai PPN penjualan kepada bengkel mobil. 

Selanjutnya, bengkel menjual suku cadang tersebut kepada pelanggannya seharga Rp. 4.400, sekali lagi dengan asumsi kenaikan harga 100 persen dan PPN 10 persen. Dari penjualan tersebut, bengkel menyisihkan Rp. 400. Dimana, Rp. 200 dipakai untuk mengompensasi PPN pembelian dari importir, dan Rp. 200 disetor ke pemerintah sebagai PPN penjualan kepada konsumen. 

Tampak, keunggulan PPN bagi pengusaha adalah adanya jaminan uang kembali. Pengusaha yang telah membayar PPN saat membeli barang, akan mendapatkan uangnya kembali saat barang tersebut terjual. Sehingga, dengan sendirinya PPN dapat meminimalisir aksi pengemplangan pajak. 

Namun, bagi konsumen, PPN adalah pajak tertutup. Konsumen tidak pernah tahu berapa harga yang ia bayar untuk produk dan berapa yang ia bayar untuk pajak. Karenanya, Robert W. McGee dalam The Philosophy of Taxation and Public Finance (2004), menilai PPN kurang etis, karena mengambil properti tanpa kesepakatan pemiliknya. 

Terlepas dari  itu, ilustrasi penjualan suku cadang impor  tersebut menunjukkan, dengan mesin uang bernama PPN, pemerintah berhasil mengantongi Rp. 400. Ilustrasi tersebut sekaligus menjadi penjelasan mengapa pemerintah menggratiskan PPN mobil selama Pandemi ini.

PPN nol persen mendorong masyarakat membeli mobil baru, karena harganya lebih murah. Setelah dibeli, tentu mobil butuh aksesoris dan perawatan suku cadang. Di sinilah, PPN-PPN lain menanti para pemilik mobil baru. 

Pemerintah mengorbankan PPN mobil untuk mendorong masyarakat mengonsumsi produk-produk ber-PPN lainnya, dalam hal ini adalah aksesoris dan suku cadang. Bonusnya, bisnis otomotif yang lesu akibat pandemi kembali bergairah. 

Lalu, bagaimana dengan rancangan PPN sembako dan pendidikan? 

Diktum yang diulang-ulang oleh pemerintah adalah “hanya sembako premium yang akan dikenai PPN”. Sekilas memang tampak adil, tapi sebenarnya kebijakan tersebut berisiko membelah masyarakat.

Nantinya, akan ada sembako premium khusus orang kaya dan ada sembako non premium khusus orang miskin. Dimana, sembako premium akan semakin sulit dijangkau oleh orang miskin. 

Demikian pula dengan rancangan PPN pendidikan yang sama berisikonya, sekalipun yang akan dikenai PPN adalah sekolahan yang biayanya mahal.  

PPN mengasumsikan orang kaya dari pengeluarannya, bukan dari penghasilannya. Konsekuensinya, PPN bersifat regresif, semakin kecil penghasilan semakin besar persentase pajaknya. 

Jika dua orang sama-sama membayar pajak Rp. 50, yang pertama penghasilannya Rp. 100, yang kedua penghasilannya Rp. 1.000. Persentase pajak yang dibayar oleh orang yang pertama lebih besar dari pada orang yang kedua. Dengan kata lain, persentase pajak yang dibayar orang miskin lebih besar dari orang kaya.

Fakta di lapangan, banyak orang berpenghasilan kecil memilih menyekolahkan anaknya di sekolahan yang bagus, meskipun biayanya mahal. Pagi tempe, sore tahu, tak masalah, asalkan anak mendapat pendidikan berkualitas. Prinsip yang saya yakin, banyak dipegang oleh orang tua Indonesia.  

Tidak etis. Jika para orang tua berpenghasilan kecil, yang ingin memperbaiki nasib dengan menyekolahkan anaknya di sekolahan yang bagus, justru harus membayar pajak dengan persentase lebih besar. 

Karenanya, rancangan PPN sembako dan pendidikan ini harus dipertimbangkan matang-matang. Jangan sampai, karena silau dengan potensi pendapatan uang yang besar, nasib rakyat dipertaruhkan.

—Esai ini disampaikan dalam sebuah acara diskusi mahasiswa di UIN SMH Banten, 2021.


Homer Economicus Bukan Homo Economicus


Homo economicus merupakan konsep yang tak kunjung selesai diperdebatkan. Ia  menjadi konsep paling vital dalam struktur ilmu ekonomi arus utama, neo klasik. Kalau diibaratkan tubuh manusia, homo economicus adalah jantungnya. Namun, bagi penganut aliran ilmu ekonomi selain neo klasik, homo economicus adalah tumor yang harus diangkat dari tubuh ilmu ekonomi. 

Sebenarnya, homo economicus hanyalah istilah formal untuk menyebut seperangkat asumsi dalam ilmu ekonomi yang mengganggap manusia rasional dan menomorsatukan utilitasnya. 

Kendati demikian, banyak yang percaya bahwa homo economicus adalah sebuah konsep yang sumbang. Karena tidak ada manusia yang sepenuhnya rasional, bahkan manusia lebih cenderung berperilaku secara emosional. Karenanya, teori ekonomi yang mengasumsikan manusia rasional seperti homo economicus adalah teori yang fondasinya keliru. 

Selain itu, banyak juga yang percaya, bahwa homo economicus bukanlah sekedar perangkat asumsi teoritis, melainkan doktrin yang perlahan mengubah manusia menjadi rakus dan kemaruk atas nama sains ekonomi. 

Homo economicus memang bukan entitas persona, ia tak memakai sepatu apalagi kemeja, demikian tutur Herry Priyono secara komikal. Homo economicus hanyalah andaian metodologis, yang eksistensinya dapat kita jumpai dalam teori dan model yang dibangun oleh para ekonom. 

Persoalan homo economicus ini sejak lama menarik perhatian saya. Pasalnya, dalam bidang keilmuan yang saya tekuni, ekonomi Islam. Muncul saingan homo economicus yang diberi nama homo Islamicus. Menarik bukan? 

Momen itu tiba saat menulis tesis, saya putuskan untuk meneliti konsep homo Islamicus. Karena itu, saya juga butuh banyak materi mengenai konsep homo economicus. 

Angin segar datang. Bertepatan dengan waktu saya menulis proposal, melintas info mengenai acara The Inaugural David Kreps Symposium di Stanford, AS. Yang temanya sangat provokatif: “Is Homo Economicus dead? Dying? Should he die?”.

Simposium itu menghadirkan pembicara mumpuni dalam bidang filsafat ilmu ekonomi, seperti Uskali Maki dan Nancy Cartwright. Saya pikir, simposium itu akan menghasilkan karya ilmiah berharga mengenai perkembangan mutakhir diskursus homo economicus.  

Seperti meja operasi, simposium itu tampak akan membedah konsep homo economicus dengan pisau analisis dari berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan. Pasalnya, homo economicus telah didiagnosis sebagai organ yang tidak berfungsi dengan baik. 

Dalam executive summary simposium itu ditulis, yang dalam bahasa sehari-hari kurang lebih seperti ini: kedepan, adalah hari-hari yang berat bagi homo economicus. Karena, kalaupun ia dianggap masih memiliki fungsi dalam struktur ilmu ekonomi, ia akan segera bersaing dengan economics behavioral dan big data.

Sayang sekali, simposium itu batal. Sepertinya, imbas merebaknya virus Corona. Dan, sialnya penelitian yang kadung saya tulis tidak bisa dibatalkan. Padahal, harapannya karya ilmiah yang dihasilkan dalam simposium itu dapat memperkaya penelitian yang saya tulis. Tampaknya, homo economicus benar-benar disayang Tuhan, hingga ia diselamatkan dari simposium yang hendak mengulitinya habis itu. 

Meskipun, sebenarnya hasrat untuk mengenyahkan homo economicus dari ilmu ekonomi itu sudah ada sejak lama. Richard Thaler, peraih Nobel Memorial dalam bidang ilmu ekonomi tahun 2017, menghabiskan karir intelektualnya untuk menghabisi homo economicus. Dalam tanggal yang sama dengan diumumkannya Thaler sebagai pemenang hadiah Nobel, jurnalis The Atlantic, Derek Thompson menulis, “Richard Thaler Wins the Nobel in Economics for Killing Homo Economicus”.

Thaler berhasil menunjukkan bahwa sebenarnya manusia itu emosional dan irasional dalam pengambilan keputusan, dari mulai keputusan soal tabungan pensiun, kesehatan, hingga klub bola. Tentu, temuan Thaler itu mematahkan asumsi yang telah menjadi pakem dalam ilmu ekonomi yaitu, manusia sebagai seorang homo economicus yang sangat rasional. 

Thaler sendiri dalam salah satu kolomnya di The New York Times menulis, bahwa manusia sungguhan bukanlah seorang homo economicus, yang sangat cerdas, tidak emosional, dan tidak punya gangguan mental, seperti tokoh fiksi Mr. Spock dalam film Startrek. 

Menurut Thaler, manusia sungguhan lebih mirip karakter Homer dalam kartun The Simpson, yang bingung mengatur uang bulanan dan tabungan.  Makanya, menurut Thaler, sebut saja ia “homer economicus” bukan “homo economicus”, atau kalau tidak mau, sebut saja ia “manusia”.

Bahkan, bagi filsuf Karel Kosik, homo economicus seperti yang telah disinggung di muka bukan sekedar andaian metodologis. Homo economicus adalah doktrin yang ditanamkan dalam perilaku ekonomi kita melalui prosedur metodologi yang dipegang teguh oleh ilmu ekonomi. 

Mengandaikan manusia mengutamakan kepentingan pribadinya, sama dengan melazimkan perilaku tersebut. Dengan kata lain, homo economicus adalah doktrin yang berpotensi mendorong manusia menjadi rakus dan kemaruk.

Namun, homo economicus tak mau kalah, ia juga punya pendukung fanatik. Sebut saja ekonom Chicago yang juga penerima hadiah nobel, Gary Becker. Becker yakin betul bahwa cara terbaik untuk memahami dunia ini adalah dengan menggunakan logika homo economicus. Salah satu keyakinannya, misalnya: tingkat kriminalitas akan turun, jika biaya melakukan kriminalitas tinggi.

Terlepas dari itu semua, kritik dan evaluasi terhadap suatu teori adalah hal yang lumrah dalam tradisi ilmiah. Jika kita mau sebentar saja berziarah beberapa kurun ke belakang, akan kita jumpai banyak sekali kuburan teori ilmu pengetahuan termasuk dalam ilmu ekonomi, misalnya teori upah besi. 

Namun, seperti yang dikatakan L.J. Zimmerman, perlu dibedakan antara teori yang gugur karena melanggar logika formal dengan adanya kontradiksi internal. Dengan teori yang gugur karena tidak aktual, dalam arti kehilangan relevansi empiris, kendati tidak melanggar logika formal.

Beruntung, saya dapat menikmati diskursus homo economicus dalam ilmu ekonomi yang apik itu. Dan, menulis penelitian mengenai pesaingnya, yaitu homo islamicus. Meski tertatih-tatih menulisnya dan serba kurang hasilnya.